Penangkap Kepiting Ambuau Togo Terjang Paceklik

  • Bagikan
Basri, warga Desa Ambaua Togo Lasalimu Selatan sedang mengikat capit kepiting bakau hasil bubunya. Ayah tiga anak ini termasuk sepuh sebagai penangkap kepiting di belantara Mangrove. (Foto Texandi)
Basri, warga Desa Ambaua Togo Lasalimu Selatan sedang mengikat capit kepiting bakau hasil bubunya. Ayah tiga anak ini termasuk sepuh sebagai penangkap kepiting di belantara Mangrove. (Foto Texandi)

“Kalau tahun 90-an itu dibawa ke Kota Baubau, sudah ada bos (pengusaha, red) yang siap beli dengan harga Rp 4.500 per kilo. Dulu jantan dan betina sama harganya. Sekarang beda, jantan lebih mahal. Tapi, bosnya lagi istirahat. Jadi, kita lebih banyak jual di pasar sini,” bebernya.

Ia memimpikan akan tiba saatnya habitat kepiting bakau bisa kembali berjaya melalui progam Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) dan Kawasan Larang Ambil (KLA) di perairan Siotapina dan Lasalimu Selatan. “Semoga dengan KLA ini membuat populasi kepiting bakau lebih banyak lagi,” pungkasnya.

Paceklik ikut dirasakan La Aco. Ayah empat anak ini bertetangga dekat dengan menantu Basri. Jarak rumah keduanya tidak lebih dari lima meter. Hari itu, dia tiba sejam lebih dulu dari Basri. Kepiting yang ia bawa tidak sampai seember.

“Paling banyak dapat 10 ekor, malah kadang tidak ada. Kali ini saya pasang 50 bubu. Lihat sendiri hasilnya, tidak penuh ember. Cuma ini kerjaku sehari-hari, mau diapa daripada cuma duduk saja,” cerita La Aco sambil mengikat capit kepiting bakau.

Pria berusia 28 tahun ini pernah menjadi buruh di salah satu toko di Kota Baubau. Namun tak bertahan lama, hanya sebulan. “Saya memilih kembali ke kampung dan pasang bubu pada tahun 2021. Kalau saya hitung-hitung, yang pasang bubu di Ambuau Togo ini semuanya sembilan orang,” ujarnya.

Sama dengan lainnya, La Aco juga menggunakan bubu jaring nilon dengan ukuran tiap mata dua inci. Alasannya, ukuran empat inci ke atas masih sulit diterapkan di perairan PAAP Lasalimu Selatan dan Siotapina. Hewan target sangat berpeluang lolos akibat gangguan tikus, biawak dan kekuatan capit kepiting itu sendiri.

“Kalau kita dapat kepiting yang masih kecil termasuk sementara bertelur, maka kita lepas kembali. Buat apa juga kita ambil, tidak akan bisa dipakai (dijual maupun dikonsumsi). Kepiting yang kita ambil itu biasanya tiga ons, lima ons sampai satu kilo ke atas diukur dengan perasaan,” jelasnya.

Jaring nilon yang menjadi bahan utama bubu itu dibeli di Kota Baubau. Umumnya, La Aco memesan sekilo jaring nilon menggunakan jasa transportasi umum. Total ongkos yang dikeluarkan mencapai Rp 120 ribu. Pun, ukuran segitu hanya menghasilkan sembilan buah bubu.

Dia memasang perangkap itu dalam waktu tidak menentu, harus mengamati pasang surut air laut. Idealnya, nelayan bergegas pada saat air belum surut betul dengan tujuan perahu tidak karam.

Selanjutnya, bubu disebar menjelang air pasang untuk meminimalisasi gangguan tikus dan biawak. Sistem kerjanya, bubu berisi umpan-potongan ikan ditancap dengan menggunakan kayu kecil sepanjang kira-kira 70 CM.

“Kalau 50 bubu itu kita belikan umpan ikan Lamadang sebanyak Rp 20 ribu di pasar sore sini. Kalau ada stok umpan berarti habis periksa hasil bubu, hari itu juga bisa langsung pasang lagi. Hasil penjualan yang kita dapat rata-rata Rp 50 ribu. Jadi, (keuntungan) bersihnya Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu,” terang La Aco.(***)

  • Bagikan

Exit mobile version