Hal ini memang harus kita pahami secara cermat. KK tambang sangatlah berbeda dengan kontrak migas Producing Sharing Contract (PSC/skema bagi hasil) dengan skema cost recovery. Di migas, dengan cost recovery, ada biaya yang ditanggung APBN untuk eksplorasi sebuah blok migas. Karena investasi migas sangat mahal dan berisiko, banyak KKKS yang enggan berinvestasi di ladang-ladang migas jika tak memiliki skema menarik seperti cost recovery. Itu artinya, jika dalam melakukan eksplorasi dan investasi besar, sebuah perusahaan migas tidak mendapatkan minyak atau gas, itu akan dianggap sebagai kerugian. Kerugian itu akan ditanggung APBN yang disebut cost recovery.
Dengan skema seperti itu, wajar jika setelah masa berakhir kontrak, KKKS migas milik perusahaan asing, seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur (2014) dan Blok Rokan (Riau) wajib dikembalikan ke negara. Setelah dikembalikan negara, pemerintah akan menjual lagi ke perusahaan negara, seperti Pertamina (Persero) dengan harga yang sangat mahal. Jadi, dalam kontrak migas, negara yang mendapat dana besar dari penjualan blok migas potensial, karena negara sudah mengeluarkan dana besar melalui cost recovery. Ini sangat berbeda dalam KK pertambangan mineral dan batubara. Dalam KK, semua biaya investasi, mulai dari pembangunan hulu (konsensi) sampai hilir (pabrik smelter) menjadi tanggung jawab korporasi. Korporasi membiayai semua investasi, juga terkait lingkungan hidup, reklamasi pasca tambang dan pembentukan wilayah tambang.
Negara hanya menikmati bagi hasil berupa penerimaan negara, seperti pajak dan royalti. KK zaman Orde Baru memang royalti dan pajaknya dipatok sangat rendah, sehingga tak adil. Namun, setelah pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, penerimaan negara harus dinaikan agar memberikan keadilan bagi negara. Itu sudah dilakukan pemerintah terhadap Vale. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat lingkar tambang dan lingkungan hidup.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa banyak perusahaan asing kerap diberi label buruk oleh publik dan politisi di Tanah Air terkait asas manfaat tambang untuk masyarakat daerah? Ini tentu membutuhkan pemahaman tata negara yang baik. Politisi mestinya tak boleh naif dalam mengeluarkan pernyataan publik. Ini bukan hanya kesalahan perusahaan tambang. Karena sistem fiskal kita memang menganut sistem terpusat.
Artinya, ratusan perusahaan tambang dengan nama KK yang ada di daerah, pajak dan royalti terbesarnya masih ditarik ke pusat untuk membiaya pembangunan seluruh negeri ini. Ruang bagi perusahaan tambang untuk menyumbang daerah hanya melalui beberapa hal kecil, seperti pajak air dan CSR. Hal ini terjadi karena sistem ketatanegaran kita yang menganut unitary system/negara kesatuan. Indonesia bukan negara federal. Dalam negara federal, daerah memiliki otoritas luas mengolah bahan tambang dan kekayaan daerah sesuai dengan kehendak kepala daerah. Jika Indonesia menganut sistem federal, gubernur Sulawesi Selatan boleh-boleh saja mengolah tambang Vale di Sorowako sesuai dengan kehendak politiknya. Namun, Indonesia yang menganut unitary system, berbeda.
Tangan pusat di daerah masih sangat kuat. Di tambang pun, yang disebut KK atau nanti dalam kasus Vale ini dikonversi menjadi IUPK, menjadi domain pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan seperti Indonesia, kekuasaan pemerintah pusat mulai dari mengurus konsensi daerah sampai urusan penerimaan negara sangatlah besar. Dalam negara kesatuan, daerah yang kaya SDA seperti Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Kalimantan Barat, wajib menyubsidi daerah miskin. Dalam bahasa konstitusinya, kekayaan tambang daerah harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan hanya kepentingan rakyat Sulawesi Selatan saja. Artinya, hasil alam dari daerah lain bisa membantu daerah-daerah miskin, seperti NTT, untuk mendapat porsi anggaran proposional untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, pemahaman seperti ini perlu kita gaungkan agar lebih adil memahami perusahaan tambang.
Lantas apakah para politisi ini tak memahami itu? Mereka lebih memahami soal itu. Mereka paham, kekuatan pusat dalam tambang sangat besar dan mereka juga ikut menikmati hasil tambang daerah. Hanya memang mereka (sejumlah politisi) kelihatan seringkali naif dalam mengeluarkan pernyataan publik. Yang penting bagi mereka, isi pernyataan itu manambah daya dobrak di mesin elektabilitas agar nama mereka makin tersohor di seantero republik.
Bagi mereka, kata kesejeteraan rakyat daerah itu sangat mahal, meskipun dalam praktik nyata di lapangan, kesejahteraan dari tambang itu sangatlah sulit. Apalagi jika kita bicara pemerintah daerah yang memiliki perusahaan milik daerah (BUMD) untuk mengolah tambang. Saya belum melihat banyak bukti bahwa ada perusahaan milik daerah yang sukses mengolah konsensi tambang untuk kesejahteraan rakyat. Yang ada, konsensi tambang daerah menjadi mesin ATM bagi para pejabat daerah untuk mencari rente dari para pengusaha tambang.
Jadi, para politisi ini sangat pandai memanfaatkan situasi. Mereka kerap menggunakan isu tambang asing sebagai komoditas politik. Apalagi jika bicara tambang yang dimiliki perusahaan asing. Mayoritas tambang perusahaan asing sangatlah potensial, seperti tambang Grasberg, Papua milik Freeport dan tambang nikel di Sorowako, milik Vale. Vale adalah salah satu tambang nikel paling profitable di Indonesia. Dalam tahun buku yang sedang berjalan tahun 2022 ini, laba Vale mencapai 168,38 juta dolar dengan pendapatan sebesar 873,7 juta dolar. Produksi Vale per tahun di angka rata-rata 62.000-72.000 matrik ton nickle matte. Per septermber, 2022, perusahaan ini memiliki dana tunai setara 624,3 juta dolar. (Baca: Vale Indonesia Tbk:2022)
Dengan laba dan pendapatan yang besar, penerimaan negara dari Vale tentu ikut terdongkrak. Dalam lima tahun terakhir ini, Vale telah menyetorkan dana ke negara sebesar Rp 7,8 triliun yang terdiri dari pajak dan royalty. – (CBNC Indonesia, 5, Juli, 2022).
Pembayaran PPh perusahaan pada 2021, misalnya, mencapai 85.900 dolar, pembayaran PPN sebesar 1.242 dolar, pembayaran PBB sebesar 2.405 dolar, pembayaran pajak lain 37.545 dolar, pembayaran pajak daerah (belum termasuk pajak hotel dan restoran) sebesar 15.874 dolar, sehingga total pajak yang dibayarkan perusahaan pada tahun 2021 mencapai 200.030 dolar. Jadi, tambang-tambang ini sangatlah profitable, sehingga menggiurkan banyak pihak termasuk politisi untuk merebut pada saat berakhir kontrak. Tak heran jika menjelang berakhir kontrak perusahaan-perusahaan asing, keributan di ruang publik sering terjadi. Keribuatan seperti itu sudah terjadi saat divestasi tambang milik Newmont Nusa Tenggara (Newmont) ke pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2010. Toh sekarang tambang itu bukannya dikendalikan pemerintah daerah NTB lagi, tetapi sudah berpindah tangan ke pengusaha swasta, Amman Mineral. Begitupun tahun 2019, menjelang Pilpres, keributan paling dasyat terjadi ketika divestasi saham Freeport ke pihak nasional.
Dengan demikian, keributan politik menjelang keputusan perpanjangan kontrak Vale adalah dinamika politik yang memang hadir dalam ruang publik kita. Yang paling penting adalah, publik tetap waras untuk menilai pernyataan politisi, apakah muatan kepentingan politisnya lebih besar daripada kepentingan negara ini. Jika muatan kepentingan nasional lebih besar dan sedikit rasional menilai, sudah sewajarnya kontrak Vale ini diperpanjang, karena sudah memenuhi prasyarat-prasayarat yang diberikan UU. (*)