“Sehingga fasilitas apa pun saat kita masih kecil di Baubau, orang selalu mengarah ke Pasarwajo pada saat itu, sampai puncaknya pada tahun 1980,” sambungnya.
Kemudian, lanjutnya, Perusahaan Aspal Negara diakuisisi oleh BUMN PT Sarana Karya sekitar tahun 1987. “Sekarang kita kenal dengan PT Wika, juga tidak terlalu signifikan dalam rangka mensuplai kebutuhan aspal nasional,” akunya.
“Momentum lokakarya hari ini, di tengah-tengah kita hadir para pakar, narasumber yang tidak diragukan lagi kapasitasnya dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat,” sambungnya.
“Selama beberapa bulan, setelah saya mengamati, menganalisa kondisi aspal, apalagi pasca-kedatangan Bapak Presiden. Pemerintah Pusat sudah mengeluarkan regulasi untuk aspal Buton, tapi tidak dibarengi dengan prioritas dalam rangka menjawab kebutuah aspal nasional
yang 1,2 juta ton per tahun,” paparnya.
Seperdua dari itu, kata Mustari, impor aspal. Itu pun prioritas nasional aspal Buton hanya mampu menyiapkan 10 persen, suatu angka yang sangat kecil sekali.
“Setelah saya amati, ternyata ada dua persoalan. Pertama, persoalan kebijakan dan regulasi. Pemerintah pusat sudah betul, bahkan dengan keluarnya Peraturan Menteri PU tahun 2023, ditekankan penggunaan aspal Buton. Kebijakan ini diikuti dengan regulasi,” urainya.
Bagaimana dengan kondisi daerah, kesiapan usaha-usaha yang mengelola aspal? Tidak mampu memproduksi kebutuhan nasional.
Pemerintah Kabupaten Buton, kata Mustari, bicara pertambangan, cukup jelas. Berdasarkan regulasi sudah diambil pemerintah pusat, bahkan Tambang Galian C sudah diambil pusat. Walaupun kini masih tarik-menarik. “Sehingga pemerintah kabupaten tidak punya kewenangan bicara soal tambang,” ujarnya.
“Sekitar 3,4 triliun yang menjadi hak Pemerintah Kabupaten Buton tidak bisa diambil. Kita terbatas dengan regulasi yang bisa menekan para penambang itu. 3,4 triliun bukan angka yang sangat kecil,” keluhnya.
Ia bekerjasama dengan Forum Koordinasi Pemerintah Daerah tapi sampai hari ini belum bisa ditarik. “Kewenangan Pemerintah Kabupaten Buton adalah BPHTB. Harus dibayarkan, hanya kewenangan secuil saja, tapi tidak mampu kita mempresur atau menekan,” paparnya.
“3,4 triliun BPHTP tidak bisa ditarik, suatu angka yang sangat signifikan,” cetusnya.
“Mudah-mudahan bupati yang akan datang bisa memperjuangkan agar BPHTB bisa ditarik,” harapnya.
“Termasuk jala-jalan raya yang ada di Pasarwajo. Dilewati para penambang dengan trek 10 roda, itu menghancurkan. Kita minta menambal saja, tidak ada yang mau, bayangkan.(IRWANSYAH AMUNU)