Ketika saya maju di Pilgub tahun 2019, ada lagi orang PPP lapor di Romi, katanya Pak Sjafei itu dulu jadi bupati di PPP. Tapi begitu jadi bupati, dia jadi ketua Golkar. Dia tingggalkan Golkar.
Maka ditanyalah saya Romi, benarkah informasi, bapak itu bupati PPP, tapi terus tinggalkan PPP jadi Ketua Golkar.
(Saya katakan) Benar pak. Ada ceritanya. Waktu itu bupati masih dipilih DPRD. PPP suaranya hanya empat, tapi satu fraksi.
Suara DPRD sebanyak 40. Berarti (untuk menang) harus punya 21 suara. Saya juga pengurus Golkar, tapi banyak juga calon Golkar waktu itu, saya terpental. Tidak bisa pakai Golkar.
Maka saya pakailah PPP, sebagai pintu saya untuk masuk dipemilihan bupati. Saya terpilih.
Ketika saya terpilih, datang PPP, datang Golkar meminta saya jadi ketua. Saya bilang begini, saya ini jadi bupati karena PPP dan kader Golkar. Kalau hanya PPP tidak mungkin (jadi bupati) karena hanya empat kursi. Kalau hanya Golkar juga, saya tidak dapat pintu.
Jadi sekarang siapa yang duluan Musda, dan meminta saya, sudah itu. Ternyata yang duluan Musda Golkar, dan meminta saya. Ya, saya ketua Golkarlah.
Maka Romi bilang clear. Tidak ada masalah kalau begitu ceritanya.
Sekarang ada lagi yang gosok saya katanya bukan lagi kader Golkar karena pernah pakai PPP. Lho, saya kan tidak aktif mengurus partai.
Hanya naik pete-pete. Tidak pernah saya pergi menyapu disitu, mau cabut rumput di gedungnya PPP. Mau pergi membersihkan, tidak pernah.
Saya diminta untuk naik kendaraannya. Saya tidak pernah ditegur.
Artinya darahnya bapak darah Golkar?
Jadi begini, kalau darah ini macam-macamlah, kita ini kan manusia, kita punya darah ini ada kambing, ada ayam, ada ikan, ada ubi, ada beras.
Golkar sempat mayoritas saat itu?
Ketika saya bupati, Ketua DPRD Golkar juga. Saya tidak menggunakan kekuasaan, partai lain saya tidak sakiti.
Saya kasih tahu orang Golkar, ini saya bantuan, kau kerja. Saya tidak mungkin paksa kepala dinas yang ada adiknya maju partai lain, saya paksa pilih Partai Golkar, tidak mungkin. Saya punya hati.
Kalau mau duduk, kerja. Saya ini jadi bupati, saya kerja, bukan saya duduk-duduk, bukan saya tidur-tidur.
Ada hal yang mau disampikan kepada politisi kita menghadapi Pilgub?
Jadi begini, dalam Pilgub ini kalau berpolitik jangan terlalu kotorlah. Jangan terlalu busuklah, yang wajar-wajar saja.
Jangan kira kalau sudah mati sudah selesai. Dimintai pertanggungjawaban, masih akan dihisab semua perbuatan.Jadi pakai hati sedikitlah.
Kita kan baku tahu-tahu, Saya ini kader Golkar tahu kalau ada kebaikan dan keburukan. Saya pun tahu kalau ada kebaikan dan kebusukannya.
Sudahlah, kita tenang-tenang saja. Karena kalau sudah mati masih akan dimintai pertanggungjawaban.
Terakhir, apa yang mau disampaikan kepada pemilih?
Kepada rakyat Sulawesi Tenggara yang akan memilih gubernurnya, kembali saya ingatkan bahwa suara anda, satu suara menentukan nasib Sulawesi Tenggara lima tahun.
Menentukan siapa yang memimpin Sulawesi Tenggara lima tahun, menentukan bagaimana karakter pemimpinnya.
Jangan sampai janji-janji doang. Karena banyak kader, belum ada yang dibuat, berjanji. Kalah-kalah kita yang sudah banyak berbuat ini janjinya.
Kita ini sudah banyak berbuat, tidak pintar berjanji. Mereka belum berbuat, makanya pintar berjanji.
Jangan karena beras lima kilolah. Hargai suaramu.
Kalau dibawakan, terima saja berasnya. Tanpa beras itu kita masih hidup.
Jadi, mudah-mudahan kita Sulawesi Tenggara, kedaulatan empat pilar harus tetap kokoh, teguh, di atas bumi Sulawesi Tenggara.(***)