JALAN PINTAS KEPTON (4). Pelabuhan Murhum Khusus Penumpang, Amirul Tamim: Pelabuhan Barang di Waramusio

  • Bagikan
Dr H MZ Amirul Tamim

BUTONPOS.BAUBAU terkenal dengan Pelabuhan Murhum. Bagaimana agar kapasitasnya lebih optimal? Berikut petikan wawancara Senator Sultra, Dr H MZ Amirul Tamim kepada Pemred Buton Pos, Irwansyah Amunu bertajuk Jalan Pintas Kepton.

Selama ini seolah tidak ada masa depan disana. Kata kuncinya kalau Jembatan Tona ada, dan energi di Selat Buton teroptimalkan, bisa menghidupkan luar biasa.

Jadi cara membaca kawasan harus dari satu cara pandang. Yang pertama, cara pandangnya tidak ada citaan Tuhan yang sia-sia. Yang kurang itu cuman ini. (seraya mengarahkan telunjuknya ke arah kepala).

Jadi kalau kita belajar lahirnya Al-Qur’an, bacalah. Kalau menurut saya kenapa namanya Muna. Kalau kita cari pasti, Muna itu apa?

Kemudian ada indikasi peradaban yang awal, Ada di Pulau Muna. Sisa kita, warisan nenek moyang untuk menjemput masa depan yang tidak terbaca.

Yang repot kita tidak bisa membaca.

Ya kita tidak bisa membaca, tapi percahayalah tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Tergangung kita. (Kembali mengarahkan telunjuknya ke arah kepala).

Dan kalau bicara historis sebenarnya kita punya potensi yang besar. Sebagai pusat peradaban Buton, disini ada aspal dan segala macam. Tapi kesannya hanya ada pada masa sejarah lalu. Bagaimana caranya sehingga kita bisa melihat masa depan dengan jelas dan terang dengan semua potensi-potensi yang ada ini?

Untuk itu saya kira bagaimana sumber daya manusia disiapkan. Kita juga meminta kepada perguruan tinggi, membuka jurusan-jurusan untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja mada masa depan.

Minta maaf, jangan hanya jurusan ini, jurusan itu, memperbanyak sarjana, tidak ada lapangan kerjanya. Padahal lapangan kerja lapangan untuk menjemput masa depan dari kawasan kita, banyak. Banyak kalau kita siapkan.

Menyinggung soal potensi perairan dan seterusnya. Kita punya armada semut dulu, bagaimana dalam konteks masa depan?

Kalau belajar dari sejarah maritim, sebenarnya kita dominan sebagai pelaku-pelaku dari konteks maritim. Dikenal dengan armada semut.

Masih tersisa sampai sekarang. Kalau lihat ke Tira, masih ada beberapa armada yang memberikan layanan-layanan untuk pelayanan itu. Kita punya suku-suku Bajo yang hampir pesisir-pesisir kita miliki.

Kita punya juga orang-orang yang punya modal sedikit, tetapi dia masih melakukan satu kegiatan-kegiatan alat angkutan laut. Masih ada saudara-saudara kita di Wakatobi, di lain-lain.

Kemudian kalau melihat dari sebaran warga Buton yang merantau, hampir disekitar kita. Di Sulawesi Tengah, hampir semua bibir pantai ada orang Buton.

Di Maluku, pasti semua ada orang Buton. Di Papua. IKN, cukup banyak orang Buton. Belum di tempat-tempat lain.

Oleh sebab itu, saya kira rekayasa untuk menjemput dengan tanda kutip, sebagai dalam konteks maritim, diperlukan merekayasa sisi darat. Kalau laut, tidak usah direkayasa. Serahkan pada Tuhan, dan alam.

Sisi daratnya, kita sebagai ibu kota dari peradaban dan insyaallah ibukota provinsi secara administratif ke depan, maka Baubau harus memberikan perhatian terhadap bagaimana antara potensi kemaritiman kawasan dengan kesiapan sisi darat.

Jadi sisi darat harus direkayasa. Kita sudah punya Pelabuhan Murhum. Dalam kekinian, bayangkan peti kemas bertumpuk di ruang sempit, mahal.

Kemahalan tumpukan peti kemas, memberi kondisi, barang-barang di Baubau mahal. Kenapa? Karena kemahalan dibebankan pada konsumen.

Sehingga untuk rekayasa pesisir, dulu di mata saya, Pelabuhan Baubau harus pindahkan ke Waramusio. Karena areal Waramusio cukup representatif. Dari sisi darat, reklamasi tidak banyak. Karena material gunung ada di belakangnya untuk menjadi bahan baku material reklamasi.

  • Bagikan