Di tengah arus informasi yang deras, kredibilitas lembaga penegak hukum sangat bergantung pada konsistensi dan ketepatan pesan publik. Kesalahan istilah atau pengumuman yang terburu-buru bisa dimanfaatkan untuk membangun narasi tandingan.
Dalam kasus ini, kritik Surya Paloh terhadap KPK menjadi sorotan tersendiri. Bagi sebagian publik, kritik itu memperkuat kesan bahwa KPK tergesa-gesa atau keliru. Bagi pihak lain, justru menjadi bukti bahwa KPK berani bertindak meski menghadapi tekanan politik.
Kedua narasi ini sama-sama menemukan panggungnya di media sosial. Figur publik dengan digital charisma—yakni kemampuan mempengaruhi opini lewat kehadiran dan narasi digital yang meyakinkan—dapat mempercepat penyebaran pandangan mereka, melebihi laju klarifikasi institusi resmi.
Esensi yang Tak Boleh Teralihkan
Di tengah riuhnya perdebatan soal istilah—apakah OTT atau sekadar “penangkapan”—ada hal yang tak boleh terabaikan: substansi dugaan tindakan korupsi itu sendiri. Kata-kata memang membentuk persepsi, namun kata-kata tidak menghapus fakta hukum bahwa ada indikasi penyalahgunaan wewenang dan aliran dana yang melanggar hukum.
Di banyak kasus, fokus publik sering bergeser dari inti persoalan ke drama narasi. Polemik istilah dapat menjadi “smoke screen” yang menutupi atau mengaburkan substansi perkara. Padahal, yang terpenting adalah memastikan proses hukum berjalan secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan bukti yang sah.
Mengubah istilah tidak mengubah kenyataan hukum. Baik disebut OTT maupun “tertangkap”, jika bukti kuat menunjukkan adanya praktik korupsi, maka proses hukum harus tetap berjalan hingga tuntas. Diskursus publik seharusnya diarahkan untuk mengawal proses tersebut, bukan terjebak dalam perdebatan semantik yang justru menguntungkan pihak-pihak yang ingin mengalihkan perhatian.
Pelajaran dari Pertarungan Narasi
Kasus Bupati Kolaka Timur memberi kita pelajaran penting: dalam pemberantasan korupsi, pertempuran tidak hanya terjadi di meja sidang, tetapi juga di medan opini publik. Istilah yang digunakan dalam komunikasi publik dapat menjadi pedang bermata dua: menguatkan legitimasi, atau justru melemahkannya.
KPK, dan lembaga penegak hukum pada umumnya, perlu menyadari bahwa komunikasi publik adalah bagian dari strategi antikorupsi. Kecepatan memang penting, tetapi akurasi dan ketepatan framing lebih penting lagi. Satu kata bisa menjadi peluru yang mengarah ke sasaran, atau justru meleset dan mengenai diri sendiri.
Penutup
Pada akhirnya, publik berhak mendapat informasi yang benar dan proporsional. Di era digital, kebenaran hukum harus berjalan seiring dengan kebenaran narasi. Pertarungan narasi seperti kasus OTT Bupati Kolaka Timur mengingatkan kita bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya soal menang di pengadilan, tetapi juga menang di ruang publik.
Dalam perang melawan korupsi, kata-kata adalah senjata. Dan seperti semua senjata, ia harus digunakan dengan tepat sasaran.(*)