MAJU dalam bursa Pilgub Sulawesi Tenggara, Bupati Buton dua periode, Ir H LM Sjafei Kahar punya insight tersendiri. Apa harapan politisi senior Bumi anoa ini? Berikut penuturannya kepada wartawan Buton Pos, Irwansyah Amunu.
Bagaimana bapak melihat posisi Sulawesi Tenggara hari ini?
Sulawesi Tenggara lahir tahun 1964 atas perjuangan tokoh empat pilar, Kendari, Kolaka-Mekongga, Muna, dan Buton. Setelah berdiri dipimpin pejabat gubernur, Pak Wayong. Mungkin orang Sulawesi Utara.
Setelah itu definitif La Ode Hadi. Pilar Buton.
Setelah La Ode Hadi, diganti oleh Edi Sabara, pilar Muna.
Edi Sabara diganti oleh Abdullah Silondae. Pilar Kendari.
Kemudian Abdullah Silondae diganti oleh Ir Alala, Buton, Muna.
Setelah itu Kaimoeddin, Muna. Kaimoeddin ke Ali Mazi, Buton.
Dari Ali Mazi ke Pak Nur Alam, Kendari. Dari Nur Alam, Ali Mazi lagi.
Saya tahu benar kondisi Sulawesi Tenggara karena saya tahun 72 sudah pegawai.
Tahun 70 saya sekolah di Kendari semacam Diploma Satu kalau sekarang, setahun. Kendari hanya satu jalan.
Dari pelabuhan ke bandara hanya satu jalan. Kalau tunggu orang, berdiri saja di pinggir jalan mesti lewat.
Listrik baru sampai Bundaran Mandonga. Itu pun baru sampai jam 12 malam. Jadi begitu tertinggalnya Kota Kendari.
Lalu gubernur berganti gubernur, sampai sekarang bagaimana? Kondisi tahun 70 sampai hari ini gubernurnya semua dari empat pilar.
Dari Sulawesi Tenggara begitu pun kita pertahankan, kita jaga. Jangan sampai diambil orang. Harus yang atur yang lahirkan juga.
Bagaimana dengan sekarang? Dari empat kabupaten menjadi 17. Itu otaknya putra dari Sulawesi Tenggara, bukan dari daerah lain.
Yang kerjakan siapa? Semua putra Sulawesi Tenggara.
Pelabuhan-pelabuhan sudah terbangun. Dan di Kepton, yang paling banyak pembangunannya adalah Gubernur Nur Alam.
Coba bicara pelabuhan, pelabuhan bongkar muat Pasarwajo, Nambo, Wamengkoli, Mawasangka, Talaga, Siompu, Kadatua, Batuatas. Delapan pelabuhan dibangun.
Apa dampaknya? Seperti Mawasangka, Talaga, Siompu, Kadatua harga bahan bangunan dan Sembako sama dengan Baubau. Karena tidak lagi Baubau ke sana. Langsung bongkar, karena sudah punya pelabuhan tiang pancang yang bisa sandar kapal. Itu yang harus kita sadari.
Kemudian putra-putra disini, para bupati, gubernur, melahirkan pemekaran. Bukan main manfaat pemekaran.
Para ASN yang tadinya tidak ada kepikiran, (dulu) pensiun jadi guru, (sekarang) pensiun jadi kepala dinas, karena pemekaran. Kalau dulu masih saya kepala dinas, mau kepala dinas harus jurusannya.
Kepala pertanian tidak bisa kalau bukan sarjana pertanian. Kepala PU tidak bisa kalau bukan sarjana teknik.
Kita bicara pemekaran, guru bisa jadi kepala dinas kesehatan, bisa jadi kepala dinas PU. Artinya suatu rahmat yang mereka tidak bisa mimpi-mimpi akibat pemekaran. Terus muncul kepala daerah baru, politisi baru, yang tadinya tidak bisa.
Coba saya ketika tahun 2001 maju sebagai bupati, empat pasangan. Empat pasangan itu, lima dari Wakatobi. Tinggal saya dari Baubau.
Lima itu, tiga calon bupati, dari Wakatobi. Pak Ryha, Djaliman, dan Hayamuldi. Wakilnya dua, Haji Amin dengan Pak Kasim.
Kita disini hanya tiga, saya calon bupati, wakilnya Pak Sjamsul dan almarhum Pak Djabar Hibali. Bayangkan kondisi dulu. Tidak kelihatan dari Buton Tengah, Buton Selatan, Bombana.
Makanya ketika saya jadi bupati, saya merenung bagaimana merubah nasib, meningkatkan derajat masyarakat. Kebetulan pusat membuka peluang pemekaran.
Tidak ada solusinya kecuali pemekaran. Maka sekarang, yang tadinya hanya penjual di pasar, bisa jadi bupati sekarang.
Jadi, intinya dulu saja Sulawesi Tenggara masih tertinggal, kita jaga. Kita sendiri yang atur.