OTT vs Tertangkap: Pertarungan Narasi di Ruang Publik

  • Bagikan
Kasra Jaru Munara

Bagaimana Satu Kata Mengubah Persepsi Kasus Korupsi

Oleh: Kasra Jaru Munara

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta

Sejak dua hari lalu, publik disuguhi drama komunikasi yang tak kalah menarik dari semua kasus korupsi yang pernah ada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Kolaka Timur. Kabar ini segera menjadi tajuk utama media dan trending di media sosial.

Namun, tak lama kemudian, sang Bupati membantah. Ia menyatakan sedang berada di Makassar mengikuti Rapat Kerja Nasional Partai NasDem. Pernyataan ini diperkuat oleh sejumlah tokoh partai, termasuk Ketua Umum Surya Paloh, yang bahkan mengkritik KPK karena dianggap menyebarkan informasi yang keliru.

Drama berlanjut. KPK kemudian menegaskan bahwa memang ada penangkapan di Makassar, dan Bupati Kolaka Timur dibawa ke Jakarta. Fakta terbaru ini menutup bantahan awal, namun jejak narasi yang terlanjur tersebar di ruang digital tetap meninggalkan jejak polarisasi.

Kata yang Membelah Persepsi

Apa yang sebenarnya terjadi di sini bukan hanya soal proses penangkapan, melainkan pertarungan narasi. Istilah OTT punya daya pukau yang tinggi di mata publik. Ia memunculkan bayangan dramatis: pelaku utama terjaring secara mendadak, seolah sedang memegang barang bukti. Kata ini sarat dengan citra “tangan besi” dan penegakan hukum yang tegas.

Sebaliknya, istilah “tertangkap” atau “penangkapan” terdengar lebih prosedural dan netral. Ia tidak memunculkan gambaran dramatis, tetapi sekadar menandakan bahwa seseorang diamankan berdasarkan bukti atau hasil penyelidikan.

Di sinilah teori framing (Entman, 1993) berlaku. Pemilihan kata bukan sekadar pilihan bahasa, tetapi strategi pembingkaian yang menentukan bagaimana publik menafsirkan peristiwa. Kemudian dalam teori agenda-setting theory (McCombs & Shaw, 1972) dijelaskan bahwa siapa yang mengendalikan kata, mengendalikan pula topik yang diperbincangkan dan arah opini publik.

Media Sosial dan Kecepatan Narasi

Era media sosial membuat pertarungan narasi berlangsung dalam hitungan menit. Begitu istilah OTT dilontarkan, ia langsung menjadi “headline” yang menguasai percakapan di Twitter, Facebook, dan WhatsApp Group. Bantahan dari pihak Bupati pun viral tak kalah cepat, menciptakan kebingungan publik: siapa yang benar?

Inilah efek klasik agenda-setting di ruang digital. Begitu sebuah kata melejit, ia membentuk kerangka awal (priming) yang sulit diubah. Bahkan ketika fakta baru muncul, narasi tandingan sudah terlanjur mengakar. Situasi ini diperparah oleh polarisasi digital: pendukung KPK dan simpatisan Bupati saling menguatkan narasi masing-masing, sering kali tanpa menunggu klarifikasi resmi.

Kredibilitas Lembaga di Bawah Sorotan

  • Bagikan