Nelayan Siotapina-Lasel Masih Segan Usir Pelanggar PAAP

  • Bagikan
Aktivitas nelayan tampak masih lengang di pesisir pantai Desa Karya Jaya Siotapina Buton, Rabu (31/8) pagi. Wilayah menjadi salah satu titik program PAAP.(Texandi)
Aktivitas nelayan tampak masih lengang di pesisir pantai Desa Karya Jaya Siotapina Buton, Rabu (31/8) pagi. Wilayah menjadi salah satu titik program PAAP.(Texandi)

Oleh: Texandi/Buton

Siang itu, penduduk dari berbagai usia masih bersuka ria di aula Desa Karya Jaya Kecamatan Siotapina Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Ya, mereka adalah keluarga besar kelompok Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Lasinta Lape-lape yang menyelenggarakan lomba karaoke merayakan suasana HUT RI ke-77.

Kelompok PAAP Lasinta Lape-lape ini menjadi garda dalam upaya perlindungan sumber daya 0-2 mil laut di dua kecamatan Kabupaten Buton yakni Siotapina dan Lasalimu Selatan (Lasel). Ketuanya Nasruddin, warga Desa Ambuau Togo Lasel. Ia orangnya welcome, mudah diajak diskusi.

Nasruddin mengomandoi 29 pengurus organisasi yang dibentuk tahun 2020 itu. Orang-orang yang tergabung merupakan penduduk dari tujuh desa PAAP meliputi empat di Siotapina (Kuraa, Manuru, Kumbewaha, dan Karya Jaya) dan tiga lainnya di Lasel (Ambuau Togo, Mega Bahari, dan Mopaano). Total luas PAAP diwilayah itu ditaksir mencapai 10.750 hektar.

Kelompok pengguna sumber daya laut Siotapina-Lasel ini tertarik dengan konsep PAAP yang diperkenalkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rare berkolaborasi dengan Dinas Perikanan Kabupaten Buton sejak 2019 lalu. Garis besarnya, kelompok PAAP itu memiliki empat divisi yaitu pengawasan, usaha, pemantauan, dan penjagaan.

“Kalau ada pengurus (kelompok PAAP Lasinta Lape-lape) yang ketahuan melanggar bisa dikenai sanksi bisa peringatan, bisa juga dikeluarkan. Itu sudah ada dalam AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga) organisasi,” ungkap Nasrudin ditemui di kediamannya, Senin (29/8) sore.

Pelanggaran yang dimaksud ialah menangkap ikan yang tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur Sultra Nomor 126 tahun 2020 tentang Penetapan PAAP Siotapina-Lasel. Regulasi itu mengatur penggunaan alat tangkap antara lain minimal mata pancing ukuran 13, mata jaring 2,4 inci, mata bubu baik bambu maupun jaring nilon 4,0 inci. Yang dilarang diantaranya bom, bius, linggis, dan bolak balik batu.

Pun, Keputusan Gubernur tersebut memberikan kewenangan prioritas kepada nelayan di tujuh desa yang dimaksud dalam mengakses kawasan PAAP. Sementara, nelayan dari luar Siotapina-Lasel tidak diperkenankan untuk mengeruk kekayaan laut sampai perairan kawasan PAAP membaik.

“Kita juga sudah mendorong Peraturan Bersama Kepala Desa (Perberkades) tujuh desa tahap II untuk mendukung program PAAP itu. Sekarang ini masih tahap sosialisasi sambil menunggu diteken para kepala desa. Mudah-mudahan dalam waktu sudah bisa disahkan,” ujarnya.

Ada tiga jenis habitat laut yang konsen dikontrol dalam kawasan PAAP Siotapina-Lasel yakni Baronang (Siganus guttatus), Katamba (Lethrinus lentjan), dan Kepiting Bakau (Scylla spp). Ikan-ikan itu tidak boleh asal tangkap, ukurannya dibatasi. Katamba 24-32 cm atau 230-532 gram, dan Baronang 16-21 cm atau 88-182 gram.

“Memang tidak mudah meninggalkan kebiasaan lama. Tapi, lihat saja dampak yang kita rasakan sejak lima tahun terakhir. Saya ini dulu termasuk aktif menjaring di laut. Di rumah ini masih ada jaring. Dulu kita cari ikan dekat-dekat sini, sekarang sudah dekat (Kabupaten) Wakatobi,” katanya.

Ia pun memotivasi jajarannya agar tidak surut dalam memahamkan konsep PAAP kepada masyarakat. Sebab, dirinya meyakini suatu saat masyarakat sendiri yang akan memanen hasil dari program ini. Lebih dari itu, momen ini menjadi kesempatan emas menjaga keberlanjutan ekosistem laut untuk dinikmati anak cucu.

“Dalam sebuah pertemuan di Kumbewaha, saya ingat sekali yang dikatakan pak Bupati (La Bakry, red) bahwa beliau pernah studi sampai di Jepang. Katanya di sana bukan lagi pemerintah yang jaga kelestarian ikan, tapi masyarakat sendiri. Ikan yang mereka dapat ditimbang dulu, kalau ukurannya belum cukup, maka dilepas,” terangnya.

Di bawah tahun 2022, eksploitasi sumber daya perikanan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan masih marak dirasakan di Desa Mopaano. Ketika itu, warga setempat sering terlihat menggunakan racun akar tuba dan linggis, mata jaring 1,0 inci. Lebih ekstrim lagi, dentuman bom kerap terdengar yang diduga dilakukan nelayan dari luar desa.

“Sekarang perilaku itu sudah berubah 75 persen. Orang-orang yang masih menggunakan alat-alat tidak ramah lingkungan itu sudah bisa dihitung dengan jari, itu pun sudah sembunyi-sembunyi,” ungkap Koordinator Divisi Pemantauan PAAP Lasinta Lape-lape, La Ode Awaludin dikonfirmasi di kediamannya, Selasa (30/8).

Awaludin sendiri pernah menjadi bagian dari nelayan yang hobi beraktivitas mengancam ekosistem perairan. Sebelum mengenal PAAP, dia kerap mengambil telur-telur penyu untuk dikonsumsi dan dijual di pasar. Kini, perilakunya berubah 360 derajat. Ia menjadi pelopor penangkaran tukik (anak penyu) di Mopaano.

“Sejauh ini, kami baru sebatas menegur orang-orang yang kita dapati melanggar PAAP. Kita sampaikan bahwa penggunaan alat tidak ramah lingkungan sudah dilarang. Kalau dia warga setempat dan ditemukan masih berbuat lagi, maka kita panggil ke kantor desa. Kita juga sementara mendorong ketentuan PAAP ikut disuarakan tokoh adat,” tandasnya.

KLA Masih Diterobos

Sejauh ini, kelompok PAAP Lasinta Lape-lape menerapkan sistem kerja 3M yaitu Melihat, Mencatat, dan Melaporkan. Setiap tindakan yang melanggar ketentuan akan dicatat untuk kemudian dilaporkan melalui sebuah link format google form.

“Jadi, kita masih hanya beri pemahaman, tidak bisa juga kita gertak. Kami tetap meyakini dengan cara persuasif itu bisa mengubah perilaku keliru yang mereka lakukan selama ini,” tutur Koordinator Divisi Pengawasan Kelompok PAAP Lasinta Lape-lape, Jamiudin di kediamannya, Rabu (31/9).

  • Bagikan