Pengawasan di kawasan PAAP Siotapina-Lasel masih dilakukan minimal dua kali sebulan. Hanya saja, sistem pengawasan itu masih tentatif. Sebabnya, cuaca dianggap belum bersahabat. Mayoritas nelayan belum melaut secara reguler lantaran ombak besar musim timur yang diperkirakan berlangsung hingga November.
“Dulu pengguna sumber daya di Karya Jaya ini masih suka-suka, tidak ada aturan. Mereka tidak mau tahu apakah alatnya ramah lingkungan atau tidak, pokoknya hantam. Sekarang perilaku itu sudah berubah secara signifikan. Masyarakat mulai paham dan sadar bahwa ternyata yang kita lakukan selama ini salah,” ujar Jamiudin yang juga Kepala Dusun Karya Jaya Desa Karya Jaya.
Wilayah PAAP Siotapina-Lasel juga disokong empat Kawasan Larangan Ambil (KLA) seluas 339 hektar. Masing-masing titik membentang dari pesisir hingga 200 meter melewati tubir atau tebing antara ujung meti dengan air dalam. KLA ini diibaratkan tempat “keramat” yang aman bagi ikan untuk berkembang biak.
“Kami anggap PAAP ini program bagus. Dampaknya mulai kita rasakan. Sebelum ada ini, jarang sekali kita lihat ikan Bubara di sini. Sekarang orang bentangkan jaring, muhama bubara besar-besar banyak didapat. Kami prediksi hasil laut sudah semakin meningkat di tahun-tahun yang akan datang,” pungkasnya.
Efek PAAP pun mulai dirasakan langsung di Manuru. Saban hari, warga dibuat terperangah menyaksikan kuantitas dan kualitas ikan Baronang dan Katamba di perairan desa itu. Sayangnya, ikan-ikan tersebut ditangkap di area KLA yang sudah dipasangi tanda patok dari pipa paralon berdiameter 4-6 inci dan panjang empat meter.
“Itu hari bulan Juli, baru sekitar dua bulan kita pasang patok KLA. Waktu itu ada nelayan yang sudah berdomisili di desa tetangga datang memasang jaring, kita lihat Baronang sama Katamba besar-besar. Alasannya, dia tidak tahu kalau itu kawasan yang dilarang mengambil ikan,” kata anggota Divisi Pengawasan Kelompok PAAP Lasinta Lape-lape, La Budi kepada wartawan.
La Budi juga merupakan satu dari sekian nelayan di Manuru. Kini, dia sudah aktif mengawasi kawasan PAAP dan KLA. Hanya saja, keterbatasan sarana seperti kapal dan teropong menjadi satu kendala dalam menjalankan pengawasan. Untungnya, saat ini pemerintah desa sudah mengalokasikan dana desa untuk mendukung kegiatan PAAP.
“Sebelum ada PAAP ini, masyarakat itu mancing saja, mau ikan yang besar kek, kecil kek, tidak peduli. Termasuk saya juga ini berperilaku seperti itu. Sekarang 75 persen pengguna sumber daya sudah mulai sadar. Tapi, kalau menurut saya memang perlu ada sanksi bagi pelanggar supaya lebih efektif ini program PAAP,” tambahnya.
Dampak Survei Migas Belum Terdeteksi
PT Pertamina Hulu Energi diketahui sedang melakukan survei seismik 2D Multizona Area dalam upaya pencarian cadangan Minyak dan Gas (Migas) di Buton. Eksplorasi awal yang ditarget tuntas November 2022 ini melintasi tiga kecamatan yakni Siotapina, Lasel dan Lasalimu. Kegiatan tersebut menyasar darat dan laut.
Dinas Perikanan Buton meyakini PT Pertamina Hulu Energi sudah lebih dulu memikirkan dampak dari survei seismik 2D itu. Skop kajiannya pun pasti melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu. Pun, sejauh ini belum ada laporan menyatakan bahwa ada nelayan yang terdampak survei itu.
“Kalau ada kegiatan yang berdampak kepada aktivitas nelayan misalnya merusak rumpon, mereka (Pertamina, red) siap mengganti sejumlah kerugian dan analisanya kita sudah berikan,” beber Kepala Dinas Perikanan Buton, Rasmin Rahman ditemui di kantornya, Kamis (1/9).
Dinas Perikanan Buton sendiri begitu mendukung program PAAP di Siotapina-Lasel. Tujuh desa yang menjadi lokasi sasaran PAAP ditentukan langsung dinas. Namun, sokongan anggaran memang belum maksimal lantaran keuangan daerah sempat terbebani pandemi Covid-19 selama beberapa tahun terakhir.
“Kami Pemerintah Kabupaten Buton masih terkendala keterbatasan anggaran. Kita tahu sekitar dua tahun kita dilanda Covid-19. Sekarang kita lagi menghadapi gejolak kenaikan harga BBM yang berpotensi memacu inflasi di daerah. Kalau ini tidak dilakukan tindakan, maka akan berdampak ke masyarakat,” ulasnya.
Secara umum, jelas dia, program PAAP di Siotapina-Lasel sudah berjalan baik. Namun begitu, pihaknya memang masih mendengar ada keluhan nelayan yang menginginkan bantuan sarana untuk menangkap ikan di lokasi jauh dari PAAP dan KLA. Pihaknya sudah mencatat keluhan itu dan siap membantu anggaran tersedia.
“Kita juga mendorong ada sentuhan lain berupa pendirian SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan) di Siotapina, karena di sana belum ada. Kalau ada masyarakat yang ingin membangun SPDN agar diberikan bimbingan sesuai syarat Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sehingga kawan-kawan nelayan tidak lagi sulit mendapatkan solar bersubsidi,” terangnya.
Fasilitator Pendamping Sains Siotapina-Lasel, Wadu Warsidik mencatat pengguna sumber daya perikanan di tujuh desa PAAP itu sudah terinput sekira 600 orang. Angka ini kemungkinan bertambah mengingat pencatatan masih terus berjalan. Pengguna sumber daya itu nelayan dan warga yang sering mengambil hasil laut.
“Kita sangat menyambut positif program PAAP. Kita sempat mengalokasikan anggaran, tapi waktu itu terkendala Covid-19. Untuk itu kita siasati berupa bantuan sarana dan prasarana pemasaram ikan seperti kulkas, cold box, termos es, ember, dan meja pengolah ikan sekaligus pisau-pisaunya. Itu sudah dibagikan kepada kelompok masyarakat di tujuh desa PAAP Siotapina-Lasel,” ujar Wadu.
Lebih dari itu, program PAAP juga didukung dengan Peraturan Bupati (Perbup) terkait pengalokasian dana desa untuk kegiatan kelautan dan perikanan. “Kemudian, tahun ini ada perluasan PAAP meliputi 29 desa tersebar hampir semua kecamatan, kecuali Kecamatan Lasalimu,” tambah pegawai Dinas Perikanan Buton ini.(***)