Penangkap Kepiting Ambuau Togo Terjang Paceklik

  • Bagikan
Basri, warga Desa Ambaua Togo Lasalimu Selatan sedang mengikat capit kepiting bakau hasil bubunya. Ayah tiga anak ini termasuk sepuh sebagai penangkap kepiting di belantara Mangrove. (Foto Texandi)
Basri, warga Desa Ambaua Togo Lasalimu Selatan sedang mengikat capit kepiting bakau hasil bubunya. Ayah tiga anak ini termasuk sepuh sebagai penangkap kepiting di belantara Mangrove. (Foto Texandi)

Oleh: Texandi/Buton

Waktu sudah menunjukan pukul 14.33 Wita. Lelaki paruh baya baru saja mendarat dari hutan Mangrove. Dia tak langsung pulang ke kediaman, masih singgah di rumah panggung sederhana berbahan kayu milik menantunya.

Pria itu bernama Basri, penduduk Desa Ambaua Togo Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Ia termasuk sesepuh dalam dunia penangkapan kepiting bakau (Scylla spp) di desa yang berjarak sekira 50 KM dari Pasarwajo-ibukota Buton.

“Saya kelahiran tahun 1973, tapi di KTP (Kartu Tanda Penduduk) 1972. Saya mulai memancing di laut sejak 1992, tapi kalau kepiting bakau nanti setelah kawin dengan istri kedua pada 1998. Dulu banyak teman-teman, tapi mereka sudah pada istrahat, sudah tua-tua,” kata Basri sembari melempar tawa kecil kepada wartawan.

Hari itu, Selasa 30 September 2022, ayah tiga anak itu cuma membawa sembilan ekor kepiting bakau ukuran sedang. Hewan capit kiri-kanan itu bahkan tidak sampai setengah ember kecil yang turut ke hutan bakau di pesisir laut. Di dalam ember ada daun-daun bakau untuk meredam gerakan kepiting.

“Hari ini hanya sembilan ekor, enam lainnya lepas. Ini hasil dari 62 bubu yang kita pasang sampai di Kanawa (dusun di Desa Kumbewaha Siotapina) sejak jam empat subuh. Untuk sampai ke lokasi dibutuhkan waktu sekitar satu jam menggunakan ketinting (perahu kecil bermesin),” ujarnya.

Bukan hanya melewati hutan bakau lebat, Basri terlebih dulu menghabiskan 15 menit melewati jalan tani untuk sampai ke tambatan perahu. Hasil tangkapan kala itu memang jauh tidak sebanding dengan kuantitas bubu. Tapi, raut wajahnya tidak menunjukkan rasa sedih, malah lebih banyak tertawa lepas.

Belum cukup setahun ini, Basri dan nelayan lainnya sudah beralih ke bubu berbahan jaring nilon yang ditengahnya diikat batang rotan kecil. Selain lebih awet, jaring nilon dirasa lebih fleksibel terhadap kapasitas perahu. Kalau bubu bambu hanya bisa disusun sampai 15 buah, sedangkan jaring nilon mampu 60-70.

“Hasil penangkapan kepiting bakau mulai menurun tahun 2000 ke atas. Penyebabnya mungkin karena sudah banyak yang pasang bubu. Kalau dulu tahun 90-an itu satu bubu bisa dapat tiga sampai empat ekor. Sekarang bahkan kadang tidak ada sama sekali,” tuturnya.

Pun, Basri menyadari saat ini sedang masa paceklik kepiting bakau. Musim kemarau menjadi penyebabnya. “Cuaca panas begini memang jarang kena. Biasanya musim ini berakhir bulan 11 (November, red). Selain panas, hambatan lainnya tikus dan biawak yang masuk ke bubu memakan umpan,” terangnya.

Tidak hanya jumlah tangkapan, tantangan para penangkap kepiting bakau juga harus menghadapi kerasnya pemasaran. Kepiting bakau yang diperoleh lebih banyak dijual ke pasar lokal dengan konsekuensi harga tidak menentu.

“Kalau tahun 90-an itu dibawa ke Kota Baubau, sudah ada bos (pengusaha, red) yang siap beli dengan harga Rp 4.500 per kilo. Dulu jantan dan betina sama harganya. Sekarang beda, jantan lebih mahal. Tapi, bosnya lagi istirahat. Jadi, kita lebih banyak jual di pasar sini,” bebernya.

  • Bagikan