BUTONPOS.JAKARTA – Sepanjang hampir 10 tahun berjalan, kehadiran BPJS Kesehatan sebagai
penyelenggara Program JKN telah merevolusi sistem layanan kesehatan Indonesia. Tidak hanya
menyatukan berbagai skema asuransi jaminan kesehatan sosial di Indonesia yang sebelumnya
terkotak-kotak, BPJS Kesehatan juga menciptakan ekosistem JKN yang kuat dan saling bergantung
satu sama lain dalam mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) bagi penduduk Indonesia.
“Hampir satu dekade, Program JKN telah berkembang menjadi program strategis yang memiliki
kontribusi besar dan mampu membuka akses layanan kesehatan bagi masyarakat. Banyak negara
sangat tertarik kepada BPJS Kesehatan sebagai sebuah program gotong royong berkonsep single
payer, ini sulit ditemukan di negara-negara lain. Jika dibandingkan negara-negara lain yang butuh
belasan hingga ratusan tahun untuk mencapai UHC, progres di Indonesia ini terbilang luar biasa pesat,”
jelas Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti dalam acara Diskusi Publik Outlook 2023: 10
Tahun Program JKN, Senin (30/1/2023).
Ghufron memaparkan, kepesertaan JKN melonjak pesat dari 133,4 juta jiwa pada tahun 2014 menjadi
248,7 juta jiwa pada 2022. Artinya, saat ini lebih dari 90% penduduk Indonesia telah terjamin Program
JKN. Khusus untuk peserta JKN dari segmen non Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang mencakup
Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), dan Bukan Pekerja, pada
tahun 2014 berjumlah 38,2 juta jiwa. Tahun 2022, angka tersebut naik tajam menjadi 96,9 juta jiwa.
Dalam kurun waktu hampir 10 tahun, penerimaan iuran JKN juga mengalami peningkatan menjadi lebih
dari Rp 100 triliun, dari tahun 2014 sebesar Rp 40,7 triliun menjadi Rp 144 triliun pada tahun 2022
(unaudited). Ghufron mengungkapkan bahwa di masa-masa awal beroperasi, BPJS Kesehatan sempat
mengalami defisit.
Berbagai upaya pun dilakukan hingga Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang
dikelola BPJS Kesehatan berangsur membaik, bahkan kini dalam kondisi amat sehat. Kesehatan
keuangan DJS per 31 Desember 2022 tercatat sebesar 5,98 bulan estimasi pembayaran klaim ke
depan, sesuai ketentuan yang berlaku.
“Saat ini tidak ada lagi istilah gagal bayar rumah sakit. Bahkan kami bisa membayar sebagian biaya
klaim rumah sakit sebelum diverifikasi untuk menjaga cashflow, sehingga rumah sakit bisa optimal
melayani pasien JKN. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah kami. Bahkan, pemerintah juga sudah
menaikkan tarif pembayaran layanan kesehatan di Puskesmas dan di rumah sakit untuk memotivasi
fasilitas kesehatan meningkatkan mutu pelayanannya,” tutur Ghufron.
Dengan bertumbuhnya cakupan kepesertaan JKN, angka pemanfaatan pelayanan kesehatan pun turut
meningkat. Dari 92,3 juta pemanfaatan pada tahun 2014, menjadi 502,8 juta pemanfaatan pada tahun 2022.Di sisi lain, BPJS Kesehatan juga giat mengusung program promotif preventif, termasuk melalui
skrining kesehatan. Langkah ini dilakukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak
lanjutan dari penyakit tertentu. Tahun 2022, tercatat sebanyak 15,2 juta peserta JKN telahmemanfaatkan layanan skrining BPJS Kesehatan, mulai dari skrining riwayat kesehatan, skrining
diabetes melitus, skrining kanker serviks, dan skrining payudara.
“Faktanya, bukan orang kaya yang paling banyak menggunakan BPJS Kesehatan. Justru, yang paling banyak memanfaatkan BPJS Kesehatan dengan biaya terbesar adalah kelompok PBI. Tercatat jumlah kasus pemanfaatannya lebih dari 31 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp27,5 triliun. Sementara,penyakit dengan biaya terbesar yang paling banyak dimanfaatkan oleh PBI adalah penyakit jantung,yaitu sebesar 4,2 juta kasus dengan biaya Rp3,2 triliun. Terlihat paling diuntungkan dan terbantu ataupaling banyak dana JKN digunakan adalah peserta PBI,” ujar Ghufron.