Politisi Muda dan Ruang Suara Publik: Antara Gaya Kritikal yang Reaktif, dan Gaya Autentik yang Reflektif

  • Bagikan
Kasra J. Munara

Oleh: Kasra J. Munara
Pemerhati Kepemimpinan Muda dan Pendidikan Politik — Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negri jakarta

Diskursus publik di Sulawesi Tenggara beberapa hari terakhir menyoroti dua senator muda: Umar Bonte dan Rabia Al Adawia yang masing-masing memberikan pernyataan terkait persoalan infrastruktur jalan rusak di Kabupaten Muna. Meskipun substansinya menyentuh kepentingan rakyat, cara penyampaian mereka menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam mempraktikkan fungsi representasi.

Sebagai masyarakat yang terus belajar dalam proses demokratis, kita patut merenungkan: Apa yang bisa kita pelajari dari cara kedua politisi muda ini menyuarakan kepentingan publik?

Ketika Kepedulian Disampaikan dengan Gaya yang Berbeda

Dalam kasus ini, Umar Bonte tampil dengan gaya komunikasi yang terbuka, langsung, dan cukup tegas. Ia menyampaikan kritik atas kondisi jalan dan mempertanyakan tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam kerangka Leadership Circle Profile*, gaya seperti ini termasuk dalam kategori “Critical”, yakni kecenderungan untuk melihat apa yang salah, menantang asumsi, dan menyuarakan ketidakberesan dengan nada evaluatif. Gaya ini memang memiliki tempat dalam demokrasi, karena kritik sering kali menjadi pintu masuk kesadaran kolektif.

Namun, dalam era digital yang penuh eksposur, gaya kritikal juga membawa risiko: jika tidak dilandasi data, empati, dan klarifikasi, ia dapat memicu kesalahpahaman atau konflik yang tidak produktif. Dalam konteks ini, Umar bisa jadi sedang menyalurkan kepedulian, tetapi perlu kehati-hatian agar pesan yang disampaikan tidak kehilangan substansi karena cara penyampaiannya.

Di sisi lain, Rabia Al Adawia merespons isu serupa dengan pendekatan yang lebih procedural, berupaya menjelaskan mekanisme penganggaran dan proses perjuangan di tingkat pusat. Dalam kerangka Leadership Circle Profile*, gaya seperti ini merepresentasikan “Courageous Authenticity”: keberanian untuk menyampaikan hal yang penting dan sulit, tetapi dilakukan dengan empati, keterbukaan, dan orientasi pada relasi yang sehat. Pendekatan ini juga valid, terutama bagi pemimpin yang ingin mendorong perubahan dari dalam sistem.

Namun, gaya ini juga tidak tanpa tantangan. Di mata publik yang menginginkan respons cepat, pendekatan yang prosedural bisa dianggap kurang responsif terutama jika tidak dibarengi komunikasi yang membumi dan langsung menyentuh keresahan masyarakat.

Gaya Boleh Berbeda, Tujuan Harus Sama

Kedua pendekatan di atas, baik yang kritikal maupun yang prosedural-reflektif, sama-sama memiliki tempat yang sah dalam ruang demokrasi. Demokrasi yang sehat justru membutuhkan keberagaman gaya kepemimpinan: ada yang berperan membunyikan alarm, ada pula yang membangun jembatan menuju penyelesaian. Tantangannya bukan memilih gaya mana yang benar, tetapi bagaimana setiap gaya bisa diarahkan untuk saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Yang perlu kita dorong hari ini adalah bagaimana masing-masing pemimpin muda terus bertumbuh dalam kepekaan komunikasi, keterbukaan terhadap dialog, serta kemauan untuk mengubah energi politik menjadi aksi nyata yang berpihak pada masyarakat.

  • Bagikan